Jombang, Lintaspena.id – Citarasa Khas bakso nuklir menjadi salah satu pilihan kuliner di Jombang. Rasanya yang nikmat dengan aroma menggugah selera dengan kwalitas daging sapi pilihan terbaik. Citarasa khas ini tetap terjaga sejak tahun 1983 an silam.
Kuliner bakso pilihan ini berasal dari Desa Mojowarno, Kecamatan Mojowarno, Jombang Bakso Nuklir telah ada sejak 40 tahun silam. Pemilik dan buatan tangan sendiri Tedjo Sumarto (67) itu terasa nikmat, mempunyai kenyal karena berbahan daging berkualitas pilihan dan sampai saat ini tidak pernah berubah rasanya sejak awal. Kuahnya juga gurih, pas untuk menggoyang lidah dan menggugah selera. Terlebih lagi, harganya sangat terjangkau, hanya Rp 12.000 per mangkuk.
“Abah selalu utamakan kwalitas dan pakai daging sapi yang bagus. Kalau ada teman makan, di sebelahnya tidak makan, aromanya (bakso dan kuah) keluar pasti kepingin. Ciri khas Bakso Nuklir bisa ditiru namanya, tapi tidak bisa ditiru kualitas rasanya,” kata Tedjo Pemilik Warung Bakso yang biasa disapa Abah To.
Tampak terlihat setiap hari warung Bakso Nuklir milik Tedjo tak pernah sepi pembeli. Hari-hari biasa, ia mampu menjual 600-800 mangkuk dengan omzet Rp 8-10 juta per hari. Sedangkan di akhir pekan, penjualannya mencapai 1.200 lebih mangkuk dengan omzet Rp 17-18 juta per hari.
“Sapi kami menyembelih sendiri tidak membeli daging di pasar, jika hari Sabtu dan Minggu kami menyembelih satu ekor sapi setiap hari. Sedangkan hari biasa satu ekor sapi untuk 2-3 hari,” ujarnya.
Warung Bakso Nuklir ini buka setiap hari mulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Tedjo dibantu 15 lebih karyawannya untuk mengelola warung di sebelah selatan RSK Mojowarno. Bapak anak satu ini harus mengeluarkan Rp 30 juta per bulan untuk menggaji pekerjanya. Bakso nuklir saat ini telah memiliki beberapa cabang yang amanah sebanyak 4 cabang.
“Insyaallah kualitas akan tetap kita jaga tanpa mengurangi porsi takaran resep adonan bakso. Kami tidak memakai bahan pengawet, karena setiap hari kami produksi sendiri, dan kita sesuai dengan porsi kebutuhan,” ungkapnya.
Cabang Bakso Nuklir. Di Jalan Cukir-Mojowarno, Jalan KH Wahid Hasyim, Pasar Mojoagung, Ploso, dan Pare, Kediri. Bakso, mi, dan pangsit goreng untuk cabang itu disuplai dari warung pusat. Masing-masing warung cabang hanya membuat kuah sendiri setelah mendapat pelatihan dari Abah To.
Nama besar Bakso Nuklir tak lepas dari perjuangan Tedjo sejak 40 tahun silam. Ia memulai bisnisnya sejak 1983. Kala itu menjajakan bakso buatannya berkeliling ke kampung-kampung menggunakan becak. “Tahun 1983, sehari penghasilan saya Rp 4.000 plus modal,” jelasnya.
Satu tahun kemudian, Abah To berdagang bakso menggunakan gerobak. Ia biasa mangkal di pinggir jalan di depan RSK Mojowarno. Namun, tahun 1991, pemerintah melarangnya berjualan di pinggir jalan. Sehingga ia menyewa sebuah rumah di depan lapangan Mojowarno, atau di sebelah selatan RSK Mojowarno.
“Tahun 1990-1991 terjadi perang antara Irak dengan Kuwait yang dipermasalahkan adalah nuklir. Nah, karena saya ingin bakso saya dikenal banyak orang, saya namai Bakso Nuklir,” ungkapnya.
Perlahan tapi pasti, nama Bakso Nuklir banyak dikenal masyarakat. Bisnis Abah To pun terus berkembang. Sehingga ia mampu membeli rumah yang ia sewa tahun 1997. Sampai saat ini, rumah tersebut ia tempat menjadi Warung Bakso Nuklir dan huniannya.
Bagi warga Jombang, menyantap Bakso Nuklir tak sekadar untuk memanjakan lidah. Tapi juga melepas rindu dan bernostalgia dengan masa mudanya. Seperti yang dilakukan Anang (45), warga bendet yang juga salah satu rekan pondok Abah To.
“Saya telah mencoba beberapa kuliner bakso di Jombang namun yang pas dengan lidah saya ya di Nuklir ini, Rasanya beda, pentolnya terasa sekali daging sapinya, kuahnya gurih. Bagi saya ini recommended untuk masyarakat, pasti ketagihan jika sudah merasakan bakso nuklir” pungkas Anang salah satu pengunjung. (Mac)