PEREMPUAN ADALAH MANUSIA JUGA

lintaspena.id _ Mari kita mulai dengan pertanyaan yang konon sering diajukan oleh kaum yang (mungkin) merasa dirinya penguasa dunia: “Jika suatu saat kamu menikah dan mendapati istrimu tidak perawan lagi, apakah kamu masih mau menerimanya?” Pertanyaan ini, entah kenapa, begitu populer di masyarakat yang katanya religius dan berbudaya tinggi. Tapi mari kita kupas, apakah ini bentuk religiusitas atau hanya kejahilan terselubung? Atau lebih parah, kebodohan kolektif yang diwariskan turun-temurun?

Bayangkan sebuah dunia di mana nilai seorang perempuan tidak diukur dari kecerdasan, keberanian, atau kontribusinya kepada masyarakat, tetapi dari selaput tipis di tubuhnya. Selaput tipis yang, ironisnya, bahkan bisa “hilang” karena sebab-sebab yang sama sekali tidak berkaitan dengan hubungan seksual: olahraga, kecelakaan, atau faktor medis. Selaput yang seharusnya menjadi bagian privat seseorang justru diperlakukan seperti sertifikat mutu yang bisa dijadikan ukuran moralitas. Kalau bukan kebodohan, lalu apa namanya?

Kita hidup di masyarakat yang gemar memuja simbol, tapi malas memahami maknanya. Keperawanan, entah bagaimana, telah dijadikan semacam “mata uang moral.” Perempuan yang masih perawan dianggap bermartabat tinggi, layak dicintai, dan pantas dijadikan istri. Sebaliknya, perempuan yang tidak lagi perawan, entah apa pun alasannya, langsung dicap sebagai produk cacat. Dan ini lucunya, lelaki yang sibuk mempersoalkan keperawanan perempuan hampir selalu lupa bertanya: “Kalau saya sendiri tidak perjaka lagi, apakah saya masih layak menikah?” Ah, tapi tentu saja, standar ganda sudah seperti udara—tidak terlihat, tetapi sangat terasa.

Pertanyaan soal keperawanan ini sebenarnya bukan sekadar soal biologi. Ini adalah cerminan dari cara masyarakat memandang perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk multifungsi—tapi bukan dalam arti positif. Mereka diharapkan menguasai dapur, memuaskan di kasur, dan (kalau perlu) diam di sumur. Ketika seorang perempuan melangkah keluar dari tiga fungsi tersebut—mengejar mimpi, mendobrak batas, atau sekadar menuntut haknya untuk dihormati—dia dianggap melanggar kodrat. Kodrat yang, tentu saja, ditulis sepihak oleh mereka yang merasa berhak mengatur hidup orang lain.

Perempuan bukan sekadar istri, ibu, atau penjaga rumah tangga. Mereka adalah manusia dengan segala kompleksitasnya—pikiran, perasaan, impian, dan perjuangan. Tapi lucunya, banyak orang masih percaya bahwa nilai seorang perempuan hanya terletak pada bagaimana dia “melayani” laki-laki. Jika perempuan itu pandai memasak, dia layak dijadikan istri. Jika dia cantik, dia adalah harta yang harus dipertahankan. Jika dia perawan, dia dianggap “berkualitas tinggi.” Betapa sempitnya cara berpikir seperti ini, seolah-olah perempuan tidak punya fungsi lain selain memuaskan ego laki-laki.

Standar ganda adalah penyakit kronis yang mengakar dalam budaya patriarki. Lelaki yang tidur dengan banyak perempuan disebut “jantan,” sementara perempuan yang melakukan hal serupa disebut “tidak bermoral.” Lelaki yang tidak perjaka dianggap wajar, tetapi perempuan yang tidak perawan langsung dihakimi sebagai aib keluarga. Pertanyaannya, dari mana asal standar ini? Apakah ada kitab suci yang menuliskan bahwa hanya perempuan yang harus menjaga tubuhnya, sementara laki-laki bebas melakukan apa pun? Atau ini murni hasil karangan masyarakat yang terlalu malas berpikir kritis?

Keperawanan perempuan sering diperlakukan seperti semacam “aset keluarga” yang harus dijaga mati-matian. Orang tua merasa terhormat jika anak perempuannya menikah dalam status “suci,” seolah-olah hal itu adalah puncak prestasi moral keluarga. Sebaliknya, jika status itu tak lagi utuh—apapun alasannya—seketika keluarga dicap gagal menjaga kehormatan. Tetapi benarkah kehormatan keluarga hanya sebatas itu? Bukankah martabat sebuah keluarga seharusnya lebih banyak berbicara tentang nilai-nilai yang mereka junjung, seperti kejujuran, kerja keras, dan integritas, daripada perkara biologis yang sama sekali tidak relevan dengan moralitas? Mengaitkan harga diri keluarga dengan keperawanan anak perempuan bukan hanya dangkal, tetapi juga mencerminkan cara pikir yang terlalu picik untuk zaman ini.

Mari kita buat analogi: bayangkan Anda membeli sebuah mobil. Apakah Anda akan bertanya kepada penjual, “Apakah mobil ini pernah dipakai sebelumnya?” atau “Apakah mobil ini dirawat dengan baik dan bisa berfungsi dengan sempurna?” Orang yang waras tentu akan memilih pertanyaan kedua. Tapi anehnya, ketika berbicara soal perempuan, banyak orang lebih peduli pada “riwayat pemakaian” daripada “kondisi saat ini.” Bukankah ini sangat ironis?

Jika keperawanan adalah simbol kesucian, lalu bagaimana dengan laki-laki yang sama sekali tidak pernah dipertanyakan soal “kesuciannya”? Apakah mereka dianggap otomatis suci hanya karena jenis kelaminnya? Jika kita benar-benar peduli pada moralitas, bukankah seharusnya kita menerapkan standar yang sama untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin? Tapi tentu saja, standar ganda selalu menjadi senjata ampuh bagi mereka yang ingin mempertahankan status quo.

Pernikahan adalah komitmen antara dua orang yang saling mencintai dan menghormati. Ini adalah perjalanan panjang yang melibatkan kerja sama, pengertian, dan pengorbanan. Tapi sayangnya, banyak orang masih menganggap pernikahan sebagai “kontrak sosial” di mana perempuan diharapkan untuk melayani, dan laki-laki berhak untuk menuntut. Pernikahan bukan sekadar urusan kasur atau dapur, tetapi soal bagaimana dua individu membangun kehidupan bersama.

Jika Anda mencintai seseorang, seharusnya cinta itu tidak didasarkan pada status biologis mereka. Cinta yang sejati adalah tentang menerima seseorang apa adanya, bukan tentang mengubah mereka agar sesuai dengan ekspektasi Anda. Jika Anda tidak bisa mencintai pasangan Anda dengan tulus, maka mungkin Anda belum siap untuk menikah.

Perempuan adalah makhluk yang luar biasa. Mereka adalah ibu yang melahirkan generasi baru, pemimpin yang menginspirasi perubahan, dan sahabat yang selalu mendukung kita dalam suka dan duka. Tapi di balik semua itu, perempuan adalah manusia—makhluk dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Mereka tidak sempurna, tetapi siapa yang sempurna?

Jika kita terus memandang perempuan sebagai objek, kita tidak hanya merendahkan mereka, tetapi juga diri kita sendiri. Kita menunjukkan bahwa kita tidak mampu melihat nilai seseorang di luar penampilan fisik atau status biologisnya. Kita menunjukkan bahwa kita terlalu malas untuk mengenal seseorang secara mendalam, terlalu picik untuk menghargai perjuangan dan impian mereka.

Pertanyaan soal keperawanan perempuan bukan hanya tidak relevan, tetapi juga tidak manusiawi. Ini adalah cerminan dari cara berpikir yang usang, diskriminatif, dan tidak adil. Jika kita ingin membangun masyarakat yang benar-benar beradab, kita harus berhenti menilai perempuan dari hal-hal yang tidak penting. Kita harus belajar untuk mencintai dan menghargai mereka sebagai manusia, bukan sebagai objek.

Jadi, lain kali Anda mendengar seseorang bertanya, “Apakah perempuan yang tidak perawan masih layak dinikahi?” tanyakan balik: “Apakah kamu, dengan pemikiran sempit seperti itu, masih layak menikah?” Mungkin jawaban itu akan menjadi awal dari perubahan yang kita butuhkan.

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *