Lintaspena.id _ Komisi Lingkungan dan Sustainability Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI Dunia) menanggapi rencana pemerintah Indonesia untuk memperluas perkebunan kelapa sawit dan memanfaatkan hutan sebagai cadangan pangan. Dalam pernyataannya, PPI Dunia menekankan pentingnya memastikan keberlanjutan lingkungan dan mengutamakan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam mendukung visi Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045, Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan delapan misi utama, juga dikenal sebagai Asta Cita. Memperkuat ketahanan pangan nasional adalah salah satu fokus utama dari misi tersebut, termasuk melalui strategi perluasan lahan kelapa sawit. Raja Juli Antoni, menteri kehutanan, juga mengumumkan rencana pemerintah untuk memanfaatkan 20 juta hektare hutan sebagai cadangan pangan. Pemerintah menganggap langkah ini penting untuk mencapai swasembada pangan, yang akan menjadi prioritas Presiden selama empat tahun mendatang.
Namun, banyak orang mengkritik rencana tersebut, termasuk mahasiswa dari Komisi Lingkungan PPI Dunia. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pangan dan kelestarian lingkungan seimbang, mereka mengemukakan berbagai ide. Seorang mahasiswa S3 di Warsaw University of Life Sciences di Polandia, Nugraha Akbar Nurrochmat, mengatakan bahwa jika terpaksa dan tidak ada lagi lahan yang dapat digunakan untuk cadangan pangan, kawasan hutan dapat dimanfaatkan asalkan lahan tersebut secara fisik tidak berhutan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah tentang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), juga dikenal sebagai Multiusaha Kehutanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Kehutanan Kementerian Kehutanan melaporkan bahwa sekitar 29 juta hektare kawasan hutan yang tidak berhutan terdiri dari pemukiman, kebun, semak belukar, dan lahan kosong. Risiko deforestasi dapat dihindari jika pemanfaatan difokuskan pada lahan-lahan tersebut. Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras, Nugraha menekankan pentingnya diversifikasi pangan dengan mengembangkan tanaman alternatif seperti sagu, ubi, dan tanaman lokal lainnya. Selain itu, gagasan perhutanan sosial dan agroforestri diusulkan sebagai solusi untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan.
Ryan Haryo Setyawan, mahasiswa S3 di University College Cork, Irlandia, mengatakan bahwa meskipun lahan yang digunakan adalah kawasan hutan tidak berhutan atau terdegradasi, analisis dampak lingkungan (AMDAL) masih diperlukan sesuai dengan Pasal 24 UU Nomor 6 Tahun 2023 (ayat 1-6). Ia menunjukkan bahwa lahan seperti padang rumput sering memiliki fungsi ekologis penting, seperti menjadi habitat satwa liar atau tempat mencari makan. Oleh karena itu, saat memanfaatkan lahan, perlu mempertimbangkan keseimbangan ekosistem yang ada. Ryan juga menekankan bahwa evaluasi harus dilakukan pada program serupa yang sudah berjalan, seperti food estate, agar masalah seperti kekurangan tenaga kerja dapat diperbaiki.
James Zulfan, mahasiswa S3 di Universitas New South Wales, Australia, mengusulkan bahwa intensifikasi pertanian, bukan ekstensifikasi lahan, harus tetap menjadi prioritas utama. Mungkin tidak ada lagi perluasan lahan karena inovasi dan penelitian yang menghasilkan varietas yang unggul dan produktif. Selain itu, ia menekankan betapa pentingnya menyelidiki secara menyeluruh aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Untuk menjalankan program ini dengan benar, hasil kajian harus dapat diakses secara publik.
Rencana ini dibuat berdasarkan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekayaan alam seperti bumi dan air harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran rakyat. Naufal, mahasiswa S3 di University of Leeds, Inggris, menekankan bahwa untuk mendukung ketahanan pangan, tata niaga pangan dan tata guna lahan harus diperbaiki. Metode yang didasarkan pada lanskap ekologi di Daerah Aliran Sungai (DAS), yang menggunakan tata kelola berbasis masyarakat dan prinsip komunitas lokal, dapat menjadi kunci keberlanjutan ketahanan pangan di Indonesia.
Reporter Ria Maha Putri