Tanggapan PPI Dunia terhadap Kelangkaan Gas LPG 3 KG

PPI Dunia,  Lintaspena.id (6/2/2025) – Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan kelangkaan gas LPG 3 kg bersubsidi, atau yang lebih dikenal sebagai LPG melon. Permasalahan ini bermula pada 1 Februari ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, melarang penjualan LPG melon di tingkat pengecer. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan harga LPG sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) serta menyalurkannya tepat sasaran bagi masyarakat miskin.

Namun, keputusan tersebut diimplementasikan secara terburu-buru dengan sosialisasi yang sangat singkat. Akibatnya, terjadi kepanikan di masyarakat. Masyarakat harus mengantre berjam-jam di agen resmi dan menempuh jarak yang cukup jauh untuk mendapatkan LPG melon. Lebih tragis lagi, kondisi ini bahkan mengakibatkan korban jiwa akibat kelelahan. Kelangkaan LPG pun semakin terasa, dengan banyaknya laporan kekosongan stok di berbagai daerah.

Presiden Prabowo Subianto akhirnya menginstruksikan agar LPG melon kembali diperjualbelikan di tingkat pengecer pada 4 Februari. Meski demikian, dampak dari kebijakan yang mendadak ini masih dirasakan oleh masyarakat luas.

Menanggapi situasi ini, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI Dunia) mengecam keras buruknya implementasi kebijakan tersebut. Laila Rahmah, mahasiswa S2 di Tehran University of Medical Sciences Iran, menyatakan bahwa kebijakan semacam ini seharusnya dikomunikasikan dan diterapkan secara bertahap agar masyarakat lebih siap. “Sangat disayangkan banyak keluarga yang kesulitan memasak karena kehabisan gas LPG. Banyak pula masyarakat yang harus mengantre berjam-jam hanya untuk kembali dengan tangan kosong,” ujarnya.

Ryan Haryo Styawan, mahasiswa S3 di University College Cork, Irlandia, menekankan pentingnya solusi jangka panjang untuk mengatasi ketergantungan pada LPG melon. Ia mengusulkan pengembangan biogas sebagai alternatif energi domestik. Teknologi ini telah dikembangkan oleh para peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang memanfaatkan gas metana dari sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) untuk diubah menjadi biogas.

Sementara itu, Nugraha Akbar Nurrochmat, mahasiswa S3 di Warsaw University of Life Sciences, menyoroti kemungkinan transisi ke kompor listrik seperti yang telah diterapkan di banyak negara Eropa. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kapasitas pembangkit listrik yang ada agar infrastruktur mendukung perubahan ini. Energi terbarukan dapat menjadi solusi yang ideal, bahkan jika memungkinkan, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dapat dipertimbangkan. Melihat kondisi di Eropa, pada 2021, Prancis menghasilkan 69% listriknya dari tenaga nuklir, sementara Finlandia (32,8%), Swedia (30,8%), dan Swiss (28,8%) juga mengandalkan sumber energi ini. Namun, pembangunan PLTN di Indonesia menghadapi tantangan besar, termasuk biaya tinggi, regulasi ketat, serta kekhawatiran terkait keselamatan dan lingkungan. Oleh karena itu, perencanaan matang dan edukasi publik sangat diperlukan.

Koordinator PPI Dunia, Adhie Marhadi, menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hal pasokan gas LPG. Hal ini sejalan dengan berbagai regulasi yang telah ditetapkan, termasuk Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres No. 104 Tahun 2007 mengenai Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kg, serta Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2009 yang mengatur penyediaan dan distribusi LPG.

Adhie, yang saat ini tengah menempuh pendidikan doktoral di Hungarian University of Agricultural and Life Sciences, juga menyoroti bagaimana negara-negara Eropa sangat serius dalam berinvestasi di sektor energi guna mengantisipasi potensi krisis. Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Eropa mengalami lonjakan signifikan dalam pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Uni Eropa menyumbang 11% dari total produksi listrik, melampaui kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang hanya mencapai 10%.

PPI Dunia mengapresiasi upaya pemerintah dalam memastikan LPG 3 kg bersubsidi tepat sasaran dan tetap terjangkau bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun, kebijakan semacam ini perlu diterapkan dengan perencanaan yang lebih matang, sosialisasi yang lebih luas, serta implementasi yang bertahap agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Lebih jauh, pemerintah juga harus mulai berinvestasi dalam inovasi dan solusi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. PPI Dunia berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi dan mencapai visi Indonesia Emas.

 

Nisrina Qurratu Ain Taufiq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *